Kamis, 29 April 2010

Pengusaha Menulis Novel 700 Halaman

Rijaluddin Shar


HEBAT dan luar biasa. Begitu kira-kira komentar kita sehabis membaca novel bernuansa sejarah awal Minangkabau karya Ridjaluddin Shar berjudul Maharaja Diraja Adityawarman, Matahari dari Khatulistiwa yang diterbitkan oleh Citra Budaya Indonesia.
Dikatakan luar biasa karena: pertama, penulisnya bukan sastrawan atau penulis novel populer, melainkan ahli di bidang ekonomi atau manajemen, dan pernah menjadi Direktur Pemasaran PT Semen Padang, sekarang jadi pengusaha. Kedua, inilah buat pertama kali penulis asal Minang berusaha “menyingkap kabut tebal” seputar Adityawarman (pendiri dan raja pertama Kerajaan Pagaruyung) dalam konteks sejarah Minangkabau.
Orang Minang, tampaknya sedikit alergi “mengakui” atau “mencatat” sejarah awal negerinya dengan nama besar Adityawarman, sehingga tak perlu mengabadikan namanya untuk jalan besar, gedung olahraga, universitas, atau bandar udara. Kita cukup puas dengan mengingat kebesaran dengan nama sebuah museum (konon pula pernah ada keinginan untuk menggantinya).
Di sini agaknya perlu semacam “kejujuran sejarah.” Karena Adityawarman telah berbuat banyak demi kemajuan rakyat daerah ini di masa silam. Jika dikatakan Adityawarman bukan orang Minang (sebagaimana juga dalam novel ini disebut urang sumando), bukankah berdasarkan garis matrilineal ibunya adalah Dara Jingga, berasal dari Melayu-Minangkabau?
Itulah salah satu kekecewaan kita dalam membaca novel ini, penulis tidak berhasil mengungkap “kabut sejarah” yang menyelimuti silsilah Adityawarman. Kekecewaan lain, pembaca jangan berharap disuguhi kisah-kisah menarik seputar nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari Pariangan Padang Panjang, Maharaja Diraja, Datuak Suri Dirajo, Bundo Kanduang, duet pendiri adat Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, Cindurmato, dan sederet nama lain yang tercantum dalam Tambo Minangkabau.
Tampaknya, kalimat yang tercantum di bawah judul novel ini: “sebuah novel historiografi mengungkap tambo alam Minangkabau dan kekuatan penguasa belahan barat imperium Majapahit,” hanya bersifat bombastis, demi kepentingan komersil semata. Bahkan, penulisan kata-kata “novel historiografi” — kenapa tidak “novel sejarah” — sangat mengganggu makna ungkapan tersebut.
Novel yang diterbitkan Citra Budaya Padang (2010) ini tebal 678 halaman terdiri dari 14 bab (tambah bab prolog dan epilog) dua pertiga darinya berkisah tentang Adityawarman sebagai pejabat tinggi (menteri) di Kerajaan Majapahit yang banyak melakukan penaklukan dan menumpas pemberontakan, terutama semasa mahapatih Gajah Mada. Hanya sepertiga dari novel ini yang berkisah Adityawarman di Melayupura, Swarna Bhumi, Darmasraya, atau Palembang.
Bagaimana dengan Bundo Kanduang? Inilah yang mungkin membingungkan. Penulis memang sama sekali tidak menyinggung-nyinggung nama peran penting yang disandang Bundo Kanduang. Secara tersirat, dalam narasi novel ini, pikiran kita jatuh pada nama Dara Jingga, ibunda dari Adityawarman yang berkedudukan di Saruaso (Saruwarsa). Jika demikian, mengapa Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang disebut Pamanda (mamak) dari Adityawarman? Bukankah kedua peletak dasar adat ini adalah anak Bundo Kanduang berlainan ayah(?)
Kendati demikian novel sejarah ini sangat penting, dan merupakan terobosan baru dalam “mengungkap kabut tebal” seputar Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Dalam mengerjakan buku ini dipastikan penulisnya ekstra hati-hati dan bersandar kepada kitab-kitab sejarah penting, seperti Negarakertagama, Pararaton, Tambo Minangkabau, serta membaca prasasti-prasasti sebagai sumber melandasi kisah-kisahnya.
Lihat misalnya, bagaimana penulis memindai kisah berawal dari Kotaraja Melayu Pura, di hulu sungai Batanghari, bulan Februari 1293 Masehi. Panglima perang Kebo Anabrang dari Kerajaan Singosari (Jawa Dwipa) berhasil melakukan “Ekspedisi Pamalayu” ke Swarna Bhumi guna menjalin kerjasama membendung serangan Dinasti Mongol.
Kemudian, kisah ini juga berakhir lebih kurang di tempat yang sama pada 1409. Ketika itu pusat kerajaan sudah berpindah ke Pagaruyung. Setelah wafatnya Adityawarman dan digantikan oleh anaknya, Ananggawarman, kerajaan Majapahit dengan serta merta menyerang Kerajaan Minangkabau melalui Darmasraya, Pulau Punjung dan Kiliran Jao. Pertempuran basosoh pun tak terhindarkan, terutama di Aka Bulu.
“Pada pertempuran tersebut sulit untuk dikatakan siapa yang menang dan yang kalah. Yang jelas laskar Majapahit menghentikan pertempuran dan kembali dengan segera ke kota Trowulan. Mayat bergelimpangan dan membusuk, bau darah membasahi bumi, sehingga medan pertempuran tersebut berobah nama dari Aka Bulu menjadi Padang Sibusuk. Setelah keadaan tersebut Majapahit mulai mengalami kemunduran.”
Dengan kisah di atas, dipastikan penulisnya melakukan peninjauan ke lapangan sebagai pembuktian di samping penelusuran sumber-sumber sejarah tertulis. Di sini pulalah kekuatan novel ini sehingga layak dijadikan sumber kajian sejarah. Di balik semua itu, yang terpenting, barangkali, adalah “kejujuran sejarah” itu sendiri. Dengan itu, barangkali, maksud dan tujuan penulis mengangkat kisah ini memperoleh hasil.
(M. Wahdini Purba, Guru Sejarah SMA Semen Padang)